Oleh: Hasanul Rizqa
Seyyed Hossein Nasr adalah seorang filsuf Muslim kontemporer. Ia tumbuh besar di lingkungan yang terpelajar. Ayahnya, Seyyed Valiallah, merupakan dokter pribadi raja Iran kala itu, Shah Mohammad Reza Pahlavi. Secara nasab, profesor George Washington University itu pun masih keturunan seorang alim dari era Dinasti Safavid, Mulla Seyyed Muhammad Taqi.
Saat berusia 12 tahun, Seyyed Hossein Nasr dikirim orang tuanya ke Amerika Serikat (AS) untuk belajar di sekolah menengah atas (SMA) Peddie School, New Jersey. Selama berada di Negeri Paman Sam, remaja Muslim itu lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca banyak buku, termasuk yang berkaitan dengan sejarah AS, budaya Barat, dan teologi Kristen. Pada 1950, Nasr menjadi lulusan terbaik dari SMA tersebut.
Setelah lulus dari Peddie School, bakat intelektual Nasr menuai perhatian dari salah satu lembaga pendidikan tinggi yang prestise di AS, Massachusetts Institute of Technology (MIT). Pihak kampus tersebut menawarkan kepadanya beasiswa untuk belajar di Departemen Fisika. Maka, anak muda ini menjadi mahasiswa Iran pertama yang diterima di MIT.
Belum selesai tahun pertama, ia merasa kurang begitu nyaman dengan atmosfer studi yang ada. Nasr merasa, banyak pertanyaan-mendasar tentang eksistensi dunia empiris justru terabaikan dalam kajian fisika yang terlalu didominasi paradigma positivistik, sebagaimana yang ditemukannya di MIT.
Suatu hari, Nasr menghadiri kuliah-terbatas yang diisi Bertrand Russell. Filsuf Inggris ini mengatakan, ilmu fisika tidak berkutat pada apa dan bagaimana hakikat realitas empiris, melainkan hanya struktur matematis yang inheren di dalamnya. Dengan perkataan lain, kebenaran (truth) bukanlah fokus kajian fisika.
Memasuki tahun kedua sebagai seorang mahasiswa, krisis intelektual Nasr kian menjadi. Semangatnya untuk mempelajari ilmu fisika sudah memudar. Bagaimanapun, mahasiswa Iran ini tetap bertahan. Bahkan, ia kemudian berhasil lulus dari Departemen Fisika MIT dengan nilai yang tinggi.
Di luar kesibukannya menyelesaikan tugas-tugas kuliah, Nasr menyempatkan diri untuk belajar humaniora. Sebab, kemauannya tidak pernah padam dalam berupaya memahami hakikat kebenaran di balik realitas empiris. Ia pun mengambil matakuliah yang diampu Profesor Giorgio Di Santillana, seorang filsuf Italia yang juga pakar sejarah sains di MIT.
Nasr meluaskan fokusnya bukan hanya pada filsafat Yunani, melainkan juga Eropa abad pertengahan. Kemudian, ia pun menyelami pemikiran-pemikiran kritis kontemporer yang menyoroti peradaban Barat modern. Berkat Santillana, Nasr mulai mengenal tulisan-tulisan Rene Guenon (wafat 1951), seorang filsuf tradisionalis asal Prancis yang menelaah tradisi Hindu dan tasawuf Islam.
Nasr sendiri mengakui besarnya pengaruh Rene Guenon bagi perjalanan intelektualnya di kemudian hari. Selain Guenon, ada sederet nama pemikir tradisionalis Eropa lainnya yang ikut mempengaruhinya. Di antaranya adalah Frithjof Schuon, Titus Burckhardt, Marco Pallis, dan Martin Lings. Mereka memiliki kesamaan, yakni berupaya menjembatani Barat dengan tradisi Timur.
Nasr menyoroti sekurang-kurangnya dua hal dari tulisan-tulisan para intelektual itu, yakni metafisika dan filsafat perennial. Ia meyakini bahwa kebenaran bisa dicapai melalui jalan akal rasional, asalkan itu diterangi oleh cahaya iman kepada wahyu Illahi.
Nasr muda mengagumi warisan intelektual Frithjof Schuon (meninggal 1998), seperti terungkap dalam artikel karyanya, “Frithjof Schuon and the Islamic Tradition.” Filsuf berdarah Jerman itu menaruh minat besar terhadap tradisi Timur. Sebelum akhir hayatnya, Schuon masuk Islam dan berganti nama menjadi Isa Nuruddin Ahmad al-Syadzili al-Darquwi al-Alawi. Bahkan, lelaki kelahiran Swiss itu ikut mendirikan tarekat sufi al-Maryamiyyah.
Menurut Nasr, banyak pihak keliru dalam memahami pemikiran Frithjof Schuon. Sebab, mereka semata-mata mengaitkan referensi Schuon pada sophia perennis. Padahal, mualaf yang pertama kali bersyahadat di Aljazair itu mencetuskan pelbagai gagasan yang memiliki “hubungan esensial” dengan Islam.
Hubungan ini, lanjut Nasr, memang tidak ditunjukkan secara terbuka oleh Schuon sendiri. Karena itu, “warna Islam” dari sang pemikir seperti tersembunyi atau kurang tampak. Kasusnya mirip dengan apa-apa yang terjadi pada (citra diri) Ibnu ‘Arabi dan Jalaluddin Rumi. “Jika ia (Schuon) ditanya tentang apa agamanya oleh orang luar, maka ia akan menjawab bahwa agamanya adalah perennial atau agama hati. Namun, sesungguhnya jawaban ini sama dengan yang diberikan Ibnu ‘Arabi dan Rumi ketika dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Demikian pula dengan sosok-sosok sufi klasik lainnya,” tulis Nasr.
Meskipun “terpesona” pada kedalaman filsafat dan tradisi tasawuf semasa dirinya menempuh studi sarjana, Nasr meneruskan minat kajiannya pada bidang sains. Ia lalu mendaftar di Departemen Geologi dan Geofisika Harvard University. Gelar master berhasil diraihnya pada 1956.
Barulah ketika hendak menempuh studi doktoral di kampus yang sama, Nasr memilih fokus kajian pada sejarah sains. Tekadnya mempelajari perspektif-perspetif baru di luar Barat modern dalam memandang sains. Khususnya dalam menjawab pertanyaan, mengapa perkembangan sains sampai pada titik sebagaimana adanya kini, termasuk ekses evolusi sains itu bagi peradaban manusia modern.
Proses penulisan disertasinya sempat terhambat karena pembimbingnya, George Sarton, meninggal dunia. Mendiang dikenang sebagai perintis bidang studi sejarah sains. Penulis buku Introduction to the History of Science (tiga jilid) itu juga memiliki perhatian yang besar pada legasi Islam untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Sepeninggal Sarton, belum ada akademisi senior lain yang menguasai bidang sejarah sains. Hingga kemudian, komite di Harvard University mempersilakannya mencari pembimbing baru walau berjumlah lebih dari satu. Maka, Nasr meneruskan penulisan disertasinya dengan bimbingan tiga profesor, yakni Bernard Cohen, Hamilton Gibb dan Harry Wolfson.
Selama bertungkus lumus di Harvard University, Nasr mendalami antara lain sejarah peradaban Arab klasik. Untuk menunjang studinya, ia mengadakan rihlah ke berbagai negara Eropa, termasuk Prancis, Inggris, Italia, dan Spanyol. Sarjana Muslim tersebut juga sempat menyambangi Maroko dan belajar ilmu tasawuf pada seorang sufi setempat, Syekh Ahmad al-Alawi.
Masa yang dijalaninya sebagai seorang mahasiswa doktoral di Harvard University adalah fase kristalisasi diri, baik secara intelektual maupun spiritual. Buah usahanya tidak sia-sia. Nasr yang masih berusia 25 tahun sukses menyabet gelar doktor (PhD). Tidak lama sesudah upacara wisuda, draf tulisannya siap terbit dengan judul Science and Civilization in Islam (telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Sains dan Peradaban di dalam Islam, 1986). Pada 1964, disertasinya diterbitkan sebagai buku, An Introduction to Islamic Cosmological Doctrines.
Dua buah penanya itu hanyalah awal dari produktivitasnya yang tak lekang sebagai seorang penulis. Hingga era 2000-an, Nasr telah menghasilkan lebih dari 50 buku dan ribuan artikel ilmiah. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke pelbagai bahasa dunia, termasuk bahasa Indonesia.
Walaupun pengaruhnya sudah diakui kalangan intelektual Amerika, Nasr menolak jabatan asisten profesor sebuah kampus ternama di AS. Dengan gelar doktor di tangan, ia memilih kembali ke Iran. Pada 1958, alumnus MIT dan Harvard itu diangkat menjadi profesor filsafat dan studi Islam di Tehran University.
Di samping mengajar dan menulis, Nasr pun mengisi pelbagai jabatan penting selama mengabdi di kampus tersebut. Namanya kian masyhur sebagai seorang intelektual di tengah masyarakat Iran. Profilnya terangkat juga lantaran karya-karya ilmiahnya yang ditulis bukan hanya dalam bahasa Persia atau Inggris, melainkan juga Arab dan Prancis.
Sementara itu, situasi dalam negeri kian gawat menjelang akhir tahun 1978. Puncaknya, raja (shah) terjungkal dari kekuasaannya pada Februari 1979. Iran segera berubah dari sebuah kerajaan yang dekat dengan Barat menjadi negara teokratis Islam yang dipimpin imam Syiah.
Pasca-Revolusi Iran 1979, kedekatan Nasr dengan shah membuat diri dan keluarganya terpaksa berdiaspora ke AS. Awalnya, profesor ini mengajar di Temple University, Philadelphia. Sejak 1984 hingga kini, ia mengabdi sebagai seorang guru besar di George Washington University.
Butir-butir pemikiran
Husain Heriyanto dalam buku Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam mengatakan, Seyyed Hossein Nasr merupakan salah seorang sosok terdepan dalam memperkenalkan khazanah Islam klasik kepada dunia modern kontemporer. Bukunya, Science and Civilization in Islam (1968), mengupas paradigma sains dan pendidikan Islam serta prestasi-prestasi yang dihasilkan para tokoh ilmuwan Muslim di era klasik. Dalam mengulas tradisi keilmuan Muslim, Nasr memakai pendekatan hermeneutik, teologi, dan kosmologi. Itu dipakainya juga dalam karyanya, Islamic Life and Thought dan Knowledge and the Sacred.
Seyyed Hossein Nasr membuka bab satu buku Science and Civilization in Islam (1968) dengan pembahasan mengenai hakim, yang diartikannya ‘orang bijak.’ Menurut Nasr, hakim biasanya merujuk pada profesi keilmuan dokter, sastrawan, astronom, pakar matematika, dan utamanya guru. Nasr lantas mengibaratkan sains sebagai cabang-cabang dari sebuah pohon. Batang pohon ini adalah kebijaksanaan (sapientia) yang inheren di dalam hakim. Di zaman peradaban Islam Klasik, para ilmuwan Muslim ternama biasanya ahli dalam lebih dari satu bidang. Nasr memandang hal ini wajar adanya karena mereka telah mengambil peran sebagai hakim.
Hal itulah yang cenderung membedakan peradaban Barat modern dengan zaman keemasan Islam. Dalam era modern itu, pengetahuan mengalami sekat-sekat fakultatif, sehingga sukar mendapati seorang hakim yang pengetahuannya bercabang ke beragam disiplin ilmu. Kecenderungan kajian interdisipliner belakangan memang muncul dalam abad ke-21.
Namun, mengikuti pengandaian Nasr di atas, “akar pohon” peradaban modern Barat tidak sama dengan Islam. Salah satu karakter peradaban Islam, menurut Nasr, adalah kesalinghubungan antardisiplin ilmu, sehingga memungkinkan realisasi ketunggalan dalam kemajemukan (Heriyanto, 2011:53). Bukankah sebuah pohon yang normal adalah yang dahannya tumbuh rindang dan simetris? Suatu dahan tidak lebih panjang daripada dahan lainnya sehingga pohon tidak tampak janggal?
Nasr dalam bukunya yang lain, Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1997) membedah perbedaan antardua peradaban tersebut dalam melihat pengetahuan. Bagi Nasr, sains Barat tidak bebas nilai karena sarat dengan bias ideologi, utamanya positivisme dan pragmatisme.
Tambahan pula, hal itu disertai dengan kecenderungan mempertebal sekat-sekat fakultatif dan bahkan jarak hierarkis dalam mengklasifikasi ilmu. Misalnya, pengutamaan sains di atas humaniora. Bahkan, manusia disamakan sebagai hewan yang kompleks sehingga menghilangkan unsur transendensinya sebagai ciptaan Tuhan. Eksesnya, peradaban Barat modern meruangkan ateisme.
Betapa banyak teknologi hasil kreasi peradaban Barat yang justru merusak alam. Misalnya, bom atom, senjata kimiawi atau biologis. Menurut Nasr dalam Science and Civilization in Islam, para sarjana Muslim di era klasik memang memberlakukan hierarki pengetahuan. Namun, sains (scientia) tetap dibina dalam kebijaksanaan (sapientia). Dengan demikian, perkembangan sains dapat dikendalikan sehingga tidak merusak kehidupan kemanusiaan atau alam seluruhnya.
Sains mungkin saja menemukan rumus-rumus yang dapat menciptakan sebuah senjata dengan dampak kerusakan besar (collateral damage). Namun, dalam peradaban Islam, ilmuwan-ilmuwan tidak sampai mewujudkan senjata demikian hanya demi sains an sich, melainkan memerhatikan kepentingan yang lebih besar, yakni kemanusiaan dan kelangsungan lingkungan hidup. Pengereman atas salah satu cabang sains mungkin terjadi dan diterima untuk menjaga realisasi bidang spiritual.
Ajaran Islam memandang manusia bukanlah semata-mata daging yang berakal, melainkan khalifah Allah di muka bumi. Hubungan vertikal antara sang khalifah dengan Tuhannya tidak dapat diabaikan. Dalam bukunya, Islamic Life and Thought (1981) Nasr menjelaskan, Islam adalah agama sekaligus peradaban. Fondasi Islam adalah wahyu tetapi hal itu tidak lantas diartikan bahwa peradaban Islam mengandaikan stagnansi. Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW 14 abad yang lalu. Namun, dari sanalah paradigma peradaban dan keilmuan Islam mengambil sumber insipirasi. Hal ini berbeda dengan paradigma sains modern yang, menurut Nasr, telah mengalami sekularisasi dan desakralisasi karena mengabaikan hubungan vertikal manusia dengan Sang Pencipta.
Dalam karyanya yang terus dikaji sampai kini, The Plight of Modern Man (1976), Seyyed Hossein Nasr berpandangan, manusia modern mengalami krisis eksistensial karena memberontak kepada Allah. Dalam artian yang ekstrem, mereka tidak lagi mempercayai eksistensi Pencipta. Karena itu, mereka kehilangan harapan. Narasi-narasi besar, semisal Abad Pencerahan, Renaisans, dan bahkan sains, tidak kunjung mewujudkan kebahagiaan di masa depan. Heriyanto menilai, di sinilah Nasr mengajak sarjana-sarjana Muslim untuk terus mengkaji filsafat Islam. Tujuannya adalah membongkar paradigma modernisme yang terlampau mendewakan akal, materialisme dan sekularisme.
Pendidikan adalah kunci untuk mewujudkan tujuan tersebut. Ahmad F Hakim dalam tesisnya untuk UIN Sunan Kalijaga menelaah pandangan Seyyed Hossein Nasr mengenai pendidikan. Dia menemukan, Nasr memandang konsep tentang manusia sebagai pusat perhatian dalam pendidikan. Sebab, manusia merupakan subjek sekaligus objek pendidikan. Pandangan Nasr tersebut juga merupakan kritiknya terhadap peradaban Barat modern. Seperti telah disinggung sebelumnya, Barat berupaya melakukan rasionalisasi kehidupan manusia.
Barat mengalami ketergantungan semata-mata pada akal untuk memahami kompleksitas kehidupan manusia. Tambahan pula, sekularisme menggunting hubungan antara makhluk berakal dan Penciptanya. Akhirnya, pendidikan Barat ditopang pada cara berpikir yang antroposentris, alih-alih ilahiyah-sentris.
Adapun manusia, menurut Nasr, terbagi ke dalam beberapa segi (Hakim, 2016:108). Dari dimensi penciptaan, manusia terdiri atas dua unsur, yakni jasmani dan rohani. Ruh yang ditiupkan Sang Pencipta ke dalam jasmani manusia membuat manusia itu memiliki beragam potensi yang tidak lain merupakan cerminan Tuhan. Atas dasar ini, lanjut Nasr, manusia menjalani dua eksistensi sekaligus, yakni rohani dan jasmani, namun keduanya masih dalam kesatuan yang bersifat saling melengkapi.
Adanya kesatuan itulah yang membuat Islam bertolak belakang dengan sekularisme. Malahan, dalam perspektif agama tauhid, hubungan vertikal habluminallah lebih dipentingkan agar manusia tidak menjalani eksistensi yang serba-sebelah. Manusia berperan baik sebagai hamba Allah (hubungan vertikal) maupun Khalifah Allah di muka bumi (hubungan horizontal/sosial). Tujuan pendidikan Islam pun sejalan dengan uraian tentang konsep manusia, yakni menyelaraskan kedua peran tersebut.
Baik dalam seni, filsafat, sains, institusi sosial, maupun politik Islam, identitas sebagai wakil dan hamba Allah terus diresapi oleh insan berpendidikan. Singkatnya, dalam segala laku kehidupan. Namun, dalam abad modern kini umat Islam seperti terbelenggu dalam sistem pendidikan yang satu dimensi. Melalui karyanya, Islam and Contemporary Society, Nasr mengkritik bagaimana para pelajar Muslim mengabaikan kewajibannya kepada Allah, padahal mereka jelas-jelas adalah manusia yang dewasa dan berakal.
Dahulu, para pelajar Muslim tidak sampai lalai atau meninggalkan shalat pada saat sedang mempelajari matematika al-Khwarizmi. Kini, beribadah seolah-olah hal yang terpisah daripada belajar di sekolah. Ibadah adalah urusan pribadi, sedangkan proses belajar-mengajar di kelas adalah urusan bersama. Dualisme demikian adalah salah satu hasil sekularisme.
Dengan sekularisme, pada akhirnya pendidikan hanya mengutamakan apa-apa yang empiris dan rasional. Di luar keduanya, semisal akal-intuitif, kurang mendapatkan sorotan atau bahkan diabaikan sama sekali. Kaidah positivistik menjadi dominan. Namun, apakah hal itu membawa manusia modern pada kebahagiaan? Pertanyaan ini dijawab sendiri oleh kritik salah seorang sarjana Barat.
Utamanya Herbert Marcuse (meninggal 1979), seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt. Dalam karya puncaknya, One Dimensional Man (1991), Marcuse menunjukkan, pola pikir positivistik pada dasarnya hanya mengenal dimensi fisik manusia. Hal itu cenderung mengabaikan kemampuan manusia untuk mengadakan refleksi kritis mengenai diri dan sekitarnya.
Heriyanto melihat Nasr berperan dalam revitalisasi tradisi intelektual Islam melalui pendekatan filsafat dan pandangan-dunia (weltanschauung) Islam. Nasr menampilkan citra sains Islam yang ditopang dengan penggalian kekayaan filsafat Islam klasik. Selain filsafat, tokoh tersebut juga menggali tasawuf sebagai elemen utama tradisi intelektual Islam. Tujuannya untuk menghadirkan paradigma yang menyeluruh dalam menghadapi persoalan-persoalan modernisme.
Dalam Islamic Life and Thought, Seyyed Hossein Nasr berpendapat, ada tiga dimensi ajaran Islam, yaitu syari’ah, thariqah, dan haqiqah. Ketiga hal ini, menurutnya, berpasangan masing-masing dengan islam, iman, dan ihsan.